Asal Mula Wong Banyumas
Nenek moyang orang
Banyumasan berasal dari daerah Kutai Kalimantan timur sebelum periode
Kerajaan Kutai Hindu, alias masih zaman pra Hindu.
Berdasarkan catatan Van der Meulen Kemudian pendatang-pendatang
tersebut masuk ke tanah Jawa jauh sebelum abad ke 3 Masehi mendarat di
Cirebon, kemudian masuk ke pedalaman. Sebagian menetap di sekitar Gunung
Cermai dan sebagian lagi melanjutkan perjalanan dan menetap di sekitar
Gunung Slamet dan Lembah Sungai Serayu.
Pendatang yang menetap di sekitar Gunung Cermai selanjutnya
mengembangkan peradaban sunda sedangkan pendatang yang menetap di
sekitar Gunung Slamet kemudian mendirikan Kerajaan Galuh Purba.
Kerajaan Galuh Purba yang didirikan di Gunung Slamet ini
disebut-sebut merupakan kerajaan yang pertama di Jawa Tengah dan
keturunannya bakal menjadi penguasa dari kerajaan-kerajaan yang ada di
Jawa.
Kerajaan Galuh Purba didirikan pada sekitar abad Ke-1 M di Gunung
Slamet berkembang sampai dengan abad ke-6 M dengan kerajaan-kerajaan
kecil dengan nama Galuh didepannya. Antara lain kerajaan :
- Kerajaan Galuh Rahyang lokasi di Brebes, ibukota di Medang Pangramesan
- Kerajaan Galuh Kalangon lokasi di Roban, ibukota di Medang Pangramesan
- Kerajaan Galuh Lalean lokasi di Cilacap, ibukota di Medang Kamulan
- Kerajaan Galuh Tanduran lokasi di Pananjung, ibukota di Bagolo
- Kerajaan Galuh Kumara lokasi di Tegal, ibukota di Medangkamulyan
- Kerajaan Galuh Pataka lokasi di Nanggalacah, ibukota di Pataka
- Kerajaan Galuh Nagara Tengah lokasi di Cineam,ibukota di Bojonglopang
- Kerajaan Galuh Imbanagara lokasi di Barunay (Pabuaran), ibukota di Imbanagara
- Kerajaan Galuh Kalingga lokasi di Bojong, ibukota di Karangkamulyan
Kerajaan Galuh Purba mempunyai wilayah kekuasaan yang lumayan luas,
mulai dari Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu,
Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen ,Kedu, Kulonprogo
dan Purwodadi.
Berdasarkan prasasti Bogor, karena pamor kerajaan Galuh Purba menurun
kalah pamor dynasti Syilendra di Jawa Tengah yang mulai berkembang,
kemudian ibukota kerajaan Galuh Purba pindah ke Kawali (dekat garut)
kemudian disebut Kerajaan Galuh Kawali.
Pada saat itu di wilayah timur berkembang Kerajaan Kalingga yang
konon merupakan kelanjutan dari Kerajaan Galuh Kalingga sebuah Kerajaan
di wilayah Galuh Purba.
Sedangkan di wilayah barat berkembang Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kelanjutan dari kerajaan Salakanegara.
Pada masa Purnawarman menjadi Raja Tarumanegara, kerajaan Galuh
Kawali menjadi kerajaan bawahan Tarumanegara. Pada saat Tarumanegara
diperintah oleh Raja Candrawarman kerajaan bawahan Tarumanegara
mendapatkan kekuasaannya kembali termasuk Galuh Kawali.
Pada masa
Tarumanegara Pemerintahan Raja Tarusbawa, Wretikandayun Raja Galuh
Kawali memisahkan diri (merdeka) dari Tarumanegara dan mendapat dukungan
dari Kerajaan Kalingga, kemudian menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat
pemerintahan Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh ini yang kemudian
berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat.
Meskipun dalam perkembangannya Kerajaan Galuh Purba berkembang
menjadi Kerajaan besar yaitu Kalingga di Jawa Tengah dan Galuh di Jawa
Barat, hubungan keturunan Galuh Purba tetap terjalin dengan baik dan
terjadi perkawinan antar Kerajaan sehingga muncul Dinasti Sanjaya yang
kemudian mempunyai keturunan raja-raja di Jawa.
Wilayah Kerajaan Galuh Purba sebelum pindah ke Kawali mempunyai
wilayah kekuasaan yang lumayan luas, mulai dari Indramayu, Cirebon,
Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga,
Banjarnegara, Kebumen ,Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Berdasarkan kajian bahasa yang dilakukan oleh E.M. Uhlenbeck, 1964,
dalam bukunya : “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java
and Madura”, The Hague: Martinus Nijhoff, bahasa yang digunakan oleh
“keturunan Galuh Purba” masuk ke dalam Rumpun Basa Jawa Bagian Kulon
yang meliputi :Sub Dialek Banten Lor
Sub Dialek Cirebon/Indramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyumas,
Sub Dialek Bumiayu (peralihan Tegalan karo Banyumas), Kelompok dialek ini biasa disebut Bahasa Jawa Ngapak-ngapak atau Bahasa Banyumasan.
Sub Dialek Cirebon/Indramayu, Sub Dialek Tegalan, Sub Dialek Banyumas,
Sub Dialek Bumiayu (peralihan Tegalan karo Banyumas), Kelompok dialek ini biasa disebut Bahasa Jawa Ngapak-ngapak atau Bahasa Banyumasan.
Bila kita lihat dari sejarah tersebut, diperoleh informasi bahwa
perkembangan peradaban Banyumasan sudah berkembang sedemikian jauh
sebelum masa-masa Kerajaan Majapahit. Artinya peradaban budaya dan
bahasa Banyumasan sudah sangat tua jauh sebelum Kerajaan Mataram Islam
yang kemudian terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
Istilah Banyumas sendiri itu muncul jauh setelah Kerajaan Galuh Purba
yaitu pada saat R. Jaka Kaiman membangun Pusat Kadipaten di Hutan
Mangli Kejawar tepatnya pada masa akhir Kerajaan Pajang sebelum muncul
Kerajaan Mataram Islam.
Pada zaman Kesultanan Demak (1478 – 1546), wilayah Banyumasan terdiri
dari beberapa Kadipaten, diantaranya Kadipaten Pasirluhur dengan
Adipatinya Banyak Belanak, juga Kadipaten Wirasaba dengan Adipatinya
Wargo Utomo I. Luasnya kekuasaan Kesultanan Demak membuat Sultan
Trenggono (Sultan Demak ke III) merasa perlu memiliki angkatan perang
yang kuat, untuk itu wilayah-wilayah Kesultanan Demak pun dibagi-bagi
secara militer menjadi beberapa daerah komando militer. Untuk wilayah
Barat, Sultan Trenggono mengangkat Adipati Banyak Belanak sebagai
Panglima Komando Wilayah Pertahanan Barat dengan cakupan wilayah
meliputi Kerawang sampai gunung Sumbing (Wonosobo). Sebagai salah
seorang Panglima Perang Kesultanan Demak, Adipati Pasirluhur dianugrahi
gelar Pangeran Senopati Mangkubumi I sedangkan adiknya yang bernama
Wirakencana diangkat menjadi Patih.
Setelah Sultan Trenggono wafat, Kesultanan Demak terpecah menjadi 3
bagian, salah satunya adalah Pajang yang diperintah oleh Joko Tingkir
dan bergelar Sultan Adiwijaya (1546 – 1587). Pada masa ini, sebagian
besar wilayah Banyumasan termasuk dalam kekuasaan Pajang.
Mengikuti kebijakan pendahulunya, Sultan Adiwijaya juga mengangkat
Adipati Pasirluhur yang saat itu dijabat Wirakencana, menjadi Senopati
Pajang dengan gelar Pangeran Mangkubumi II. Sementara itu Adipati
Kadipaten Wirasaba, Wargo Utomo I wafat dan salah seorang putranya (
putra menantu ) bernama R. Joko Kaiman diangkat oleh Sultan Adiwijaya
menjadi Adipati Wirasaba dengan gelar Wargo Utomo II, beliau menjadi
Adipati Wirasaba ke VII.
Menjelang berakhirnya kejayaan kerajaan Pajang dan mulai berdirinya
kerajaan Mataram (1587), Adipati Wargo Utomo II menyerahkan kekuasaan
Kadipaten Wirasaba ke saudara-saudaranya, sementara beliau sendiri
memilih membentuk Kadipaten baru dengan nama Kadipaten Banyumas dan
beliau menjadi Adipati pertama dengan gelar Adipati Marapat.
Selanjutnya, Kadipaten Banyumas inilah yang berkembang pesat, telebih
setelah pusat Kadipatennya dipindahkan ke Sudagaran – Banyumas,
pengaruh kekuasaannya menyebabkan Kadipaten-Kadipaten lainnya semakin
mengecil. Seiring dengan berkembangnya Kerajaan Mataram,
Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan pun tunduk pada kekuasaan
Mataram.
Kekuasaan Mataram atas Kadipaten-Kadipaten di wilayah Banyumasan
tidak secara otomatis memasukkan wilayah Banyumasan ke dalam “lingkar
dalam” kekuasaan Mataram sehingga Kadipaten-Kadipaten di wilayah
Banyumasan tersebut masih memiliki otonomi dan penduduk Mataram pun
menyebut wilayah Banyumasan sebagai wilayah Mancanegara Kulon.
Sebelum Belanda masuk, wilayah Banyumasan disebut sebagai daerah
Mancanegara Kulon dengan rentang wilayah meliputi antara Bagelen
(Purworejo) sampai Majenang (Cilacap). Disebut Mancanegara Kulon karena
pusat pemerintahan waktu itu memang berada di wilayah Surakarta atau
wilayah wetan.
Terhitung sejak tanggal 22 Juni 1830, daerah Mancanegara Kulon ini
secara politis masuk di bawah kontrol pemerintah kolonial Belanda,
itulah awal penjajahan Belanda, sekaligus akhir dari pendudukan kerajaan
Mataram atas bumi Banyumasan. Selanjutnya para Adipati di wilayah
Banyumasan pun tidak lagi tunduk pada Raja Mataram, mereka selanjutnya
dipilih dan diangkat oleh Gubernur Jenderal dan dipilih dari kalangan
penduduk pribumi, umumnya putera atau kerabat dekat Adipati terakhir.
Pemerintahan di wilayah Banyumasan diatur berdasarkan Konstitusi
Nederland yang pada pasal 62 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintahan umum
di Hindia Belanda (Indonesia) dilakukan oleh Gubernur Jenderal atas nama
kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal adalah kepala eksekutif yang berhak
mengangkat serta memberhentikan para pejabat di Hindia Belanda,
termasuk para Adipatinya. Saat itu yang menjadi Gubernur Jenderal adalah
Johannes Graaf van den Bosch (16 Januari 1830 – 2 Juli 1833).
Upaya untuk mengontrol para Adipati ini sebenarnya agar Belanda mudah
melakukan mobilisasi rakyat untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan
milik Belanda yang lebih dikenal dengan tanam paksa. Persiapan
pembentukan pemerintahan kolonial Belanda di wilayah Banyumasan
dilakukan oleh Residen Pekalongan bernama Hallewijn. Hallewijn tiba di
wilayah Banyumasan pada 13 Juni 1830 dengan tugas utama mempersiapkan
penyelenggaraan pemerintahan sipil di wilayah Banyumasan. Dia dibantu
antara lain oleh Vitalis sebagai administrator juga Kapiten Tak sebagai
komandan pasukan.
Tanggal 20 September 1830, Hallewijn memberikan laporan umum hasil
kerjanya kepada Komisaris Kerajaan yaitu Jenderal De Kock di Sokaraja,
diantara isi laporan tersebut adalah tentang cakupan wilayah Banyumasan
yang meliputi (dari timur) : Kebumen, Banjar (Banjarnegara), Panjer,
Ayah, Prabalingga (Purbalingga), Banyumas, Kroya, Adireja, Patikraja,
Purwakerta (Purwokerto), Ajibarang, Karangpucung, Sidareja, Majenang
sampai ke Daiyoe-loehoer (Dayeuhluhur), termasuk juga di dalamnya
tanah-tanah Perdikan (daerah Istimewa) seperti Donan dan Kapungloo. Pada
pertemuan di Sokaraja itulah akhirnya diresmikan berdirinya Karesidenan
Banyumas yang meliputi sebagian besar wilayah mancanegara kulon,
selanjutnya tanggal 1 November 1830 de Sturler dilantik sebagai Residen
Banyumas pertama.
Pada tanggal 18 Desember 1830 melalui Beslit Gubernur Jenderal J.G.
van den Bosch, Karesidenan Banyumas diperluas dengan dimasukkannya
Distrik Karangkobar (Banjarnegara), pulau Nusakambangan, Madura
(sebelumnya termasuk wilayah Cirebon) dan Karangsari (sebelumnya
termasuk wilayah Tegal).
Untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan, pemerintah kolonial
Belanda pada tanggal 22 Agustus 1831 membentuk 4 Regentschap (Kabupaten)
di wilayah Karesidenan Banyumas yaitu, Kabupaten Banyumas, Ajibarang,
Daiyoe-loehoer dan Prabalingga yang masing-masing dipimpin oleh seorang
Bupati pribumi. Selain itu Residen de Sturler juga melakukan perubahan
ejaan nama dan pembentukan struktur Afdeling yang berfungsi sebagai
Asisten Residen di masing-masing Kabupaten.
Di antara yang mengalami perubahan nama adalah Prabalingga menjadi
Poerbalingga, Daiyoe-Loehoer menjadi Dayoehloehoer dan Banjar menjadi
Banjarnegara, selanjutnya wilayah Banjarnegara diperluas dengan
memasukkan Distrik Karangkobar, statusnyapun ditingkatkan menjadi sebuah
Kabupaten.
Pembentukan Afdeling meliputi, Kabupaten Dayoehloehoer dan Kabupaten
Ajibarang menjadi satu Afdeling yaitu Afdeling Ajibarang dengan ibukota
Ajibarang dan D.A. Varkevisser diangkat sebagai Asisten Residen di
Ajibarang sekaligus sebagai ”pendamping” Bupati Ajibarang Mertadiredja
II dan Bupati Dayoehloehoer R. Tmg. Prawiranegara. Tiga Kabupaten
lainnya yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara
masing-masing memiliki Afdeling sendiri-sendiri.
Wilayah Banyumasan merupakan sebuah wilayah yang meliputi 8 Kabupaten
yaitu : Kabupaten Kebumen, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Brebes,
Kabupaten Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten
Purbalingga dan Kabupaten Banyumas.
Budaya Banyumasan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan
wilayah lain di Jawa Tengah, walaupun akarnya masih merupakan budaya
Jawa. Hal ini sangat terkait dengan karakter masyarakatnya yang sangat
egaliter tanpa mengenal istilah ningrat atau priyayi. Hal ini juga
tercermin dari bahasanya yaitu bahasa Banyumasan yang pada dasarnya
tidak mengenal tingkatan status sosial. Penggunaan bahasa halus (kromo)
pada dasarnya merupakan serapan akibat interaksi intensif dengan
masyarakat Jawa lainnya (wetanan) dan ini merupakan kemampuan masyarakat
Banyumasan dalam mengapresiasi budaya luar. Penghormatan kepada orang
yang lebih tua umumnya ditampilkan dalam bentuk sikap hormat, sayang
serta sopan santun dalam bertingkah laku. Tidak dapat dipungkiri bahwa
pengaruh feodalisme memang terasa tetapi itu bukan merupakan karakter
asli masyarakat Banyumasan. Selain egaliter, masyarakat Banyumasan
dikenal memiliki kepribadian yang jujur serta berterus terang atau biasa
disebut Cablaka / Blakasuta.
Demikian Saudara sedikit cerita tentang asal mula Wong Banyumasan
cukup menarik bukan, dengan cerita di atas mudah-mudahan dapat menjadi
pelajaran bagi kita semua. Yang menjadi pertanyaan inyong yang cukup
menggelitik adalah tentang sedikitnya informasi yang bisa kita dapatkan
untuk mencari jejak sejarah Banyumasan terutama terkait Kerajaan Galuh
Purba, ini tentunya merupakan tantangan bagi Sejarawan Banyumasan untuk
menggali lebih dalam jati diri bangsa Banyumasan.
Sebagai penutup tulisan, karena inyong bukan ahli sejarah dan hanya
“menggatuk-gatukan” dari sumber yang ada sekitanya ada yang salah mohon
untuk diluruskan.. ehhh..mbok kayakuwe…Klilaan.. (diolah dari beberapa
sumber, sumber utama Wikipedia Bahasa Indonesia dan Basa Banyumasan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar